Apakah Api Penyucian itu Ada?
oleh: Romo William P. Saunders *
Baru-baru ini saya membaca bahwa Paus Yohanes Paulus II menekankan
pentingnya berdoa bagi jiwa-jiwa di Api Penyucian. Saya hampir tak
pernah mendengar api penyucian disebut-sebut lagi. Saya bahkan mendengar
sebagian orang Katolik mengatakan bahwa kita tidak lagi percaya akan Api
Penyucian sejak Konsili Vatikan II. Bagaimanakah ajaran yang benar? ~ seorang pembaca di Reston
Pada tanggal 17 September 2002, Paus Yohanes Paulus II memang menekankan
pentingnya berdoa bagi jiwa-jiwa di Api Penyucian. Beliau mengatakan,
“Bentuk belas kasih kepada sesama yang pertama dan terutama adalah kerinduan
yang besar akan keselamatan kekal mereka…. Cinta kasih Kristiani tak
mengenal batas serta melampaui batas-batas ruang dan waktu, sehingga
memungkinkan kita untuk mengasihi mereka yang telah meninggalkan dunia ini.”
Sebab itu, bukan hanya keyakinan akan Api Penyucian, melainkan juga
kewajiban rohani untuk berdoa bagi jiwa-jiwa di Api Penyucian tetap
merupakan bagian dari iman Katolik kita.
Bertentangan dengan apa yang diyakini secara salah oleh sebagian orang,
Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Konsili Vatikan II menegaskan, “Itulah
iman yang layak kita hormati, pusaka para leluhur kita: iman akan
persekutuan hidup dengan para saudara yang sudah mulai di Surga, atau
sesudah meninggal masih mengalami pentahiran. Konsili suci ini penuh khidmat
menerima iman itu, dan menyajikan lagi ketetapan-ketetapan Konsili-konsili
suci Nicea II, Florensia dan Trente.” (no. 51)
Disamping itu, Katekismus Gereja Katolik dengan jelas menegaskan keyakinan
Gereja akan Api Penyucian dan pemurnian jiwa sesudah kematian, “Siapa yang
mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan
sepenuhnya, memang sudah pasti akan keselamatan abadinya, tetapi ia masih
harus menjalankan satu penyucian untuk memperoleh kekudusan yang perlu,
supaya dapat masuk ke dalam kegembiraan Surga. Gereja menamakan penyucian
akhir para terpilih, yang sangat berbeda dengan siksa para terkutuk,
purgatorium [api penyucian]” (no. 1030-31).
Seperti dinyatakan dalam Vatikan II, Gereja secara konsisten percaya akan
pemurnian jiwa sesudah kematian. Keyakinan ini berakar pada Perjanjian Lama.
Dalam Kitab Makabe yang Kedua, kita membaca bagaimana Yudas Makabe
mempersembahkan korban penghapus dosa dan doa-doa bagi para prajurit yang
meninggal dengan mengenakan jimat-jimat, yang dilarang oleh hukum Taurat;
Kitab Suci mencatat, “Mereka pun lalu mohon dan minta, semoga dosa yang
telah dilakukan itu dihapus semuanya.” (12:42) dan “Dari sebab itu
maka [oleh Yudas Makabe] disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk
semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka”
(12:45). Ayat ini membuktikan praktek bangsa Yahudi mempersembahkan
doa-doa dan kurban guna membersihkan jiwa mereka yang telah meninggal.
Tafsir rabiah atas Kitab Suci menegaskan keyakinan ini. Dalam Kitab Zakharia,
Tuhan bersabda, “Aku akan menaruh yang sepertiga itu dalam api dan akan
memurnikan mereka seperti orang memurnikan perak. Aku akan menguji mereka,
seperti orang menguji emas.” Sekolah Rabi Shammai menafsirkan ayat ini
sebagai pemurnian jiwa melalui belas kasihan dan kebaikan Tuhan,
mempersiapkan jiwa untuk kehidupan kekal. Dalam Kitab Sirakh 7:33 tertulis,
“orang mati pun jangan kau kecualikan pula dari kerelaanmu”,
ditafsirkan sebagai memohon kepada Tuhan untuk membersihkan jiwa. Singkat
kata, Perjanjian Lama dengan jelas menegaskan adanya semacam proses
pemurnian bagi jiwa umat beriman setelah mereka meninggal dunia.
Perjanjian Baru hanya memiliki sedikit referensi mengenai penyucian jiwa
atau bahkan mengenai surga. Perjanjian Baru lebih berfokus pada pewartaan
Injil dan menanti kedatangan Kristus yang kedua kalinya, yang baru kemudian
disadari oleh para penulis Kitab Suci dapat terjadi sesudah kematian mereka
sendiri. Namun demikian, dalam Matius 12:32 pernyataan Yesus bahwa dosa-dosa
tertentu “tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan
datang pun tidak,” sekurang-kurangnya menimbulkan gambaran akan adanya
pemurnian jiwa sesudah kematian. Paus
St.
Gregorius (wafat thn 604) menyatakan, “Untuk dosa-dosa tertentu yang
lebih ringan, kita harus percaya bahwa, sebelum Pengadilan Terakhir,
terdapat suatu api yang memurnikan. Ia, yang adalah Kebenaran, bersabda
bahwa barangsiapa mengucapkan sesuatu menentang Roh Kudus, ia tidak akan
diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak. Dari
kalimat ini kita mengerti bahwa dosa-dosa tertentu dapat diampuni di dunia
ini, tetapi dosa-dosa tertentu lainnya diampuni di dunia yang akan datang.”
Demikian juga Konsili Lyon menegaskan tafsiran atas ajaran Kristus ini.
Gereja Perdana melestarikan keyakinan dalam mempersembahkan doa-doa demi
pemurnian jiwa. Paus St. Gregorius menyatakan, “Janganlah kita ragu-ragu
menolong mereka yang telah meninggal dunia dengan mempersembahkan doa-doa
kita bagi mereka.”
St. Ambrosius
(wafat thn 397) menyampaikan khotbahnya, “Kita mengasihi mereka semasa
mereka hidup; janganlah kita mengabaikan mereka setelah mereka meninggal,
hingga kita menghantar mereka melalui doa-doa kita ke dalam rumah Bapa.”
Lagipula, Gereja telah berulangkali menegaskan keyakinan ini, seperti
dinyatakan dalam Vatikan II.
Sebenarnya, kunci dari jawaban ini adalah memahami keindahan di balik
doktrin Api Penyucian. Kita percaya bahwa Tuhan menganugerahkan kepada kita
kehendak bebas agar kita dapat memilih antara yang benar dan yang salah,
yang baik dan yang jahat. Kehendak bebas memungkinkan kita untuk menetapkan
satu pilihan yang paling utama - yaitu mengasihi Tuhan. Tindakan dari
kehendak bebas ini juga meminta pertanggungjawaban. Apabila kita memilih
untuk tidak mengasihi Tuhan, dan dengan demikian berbuat dosa, kita
bertanggung jawab atas dosa yang kita buat. Tuhan dalam keadilan-Nya
menuntut pertanggungjawaban kita atas dosa-dosa yang demikian. Tetapi, dalam
kasih dan kerahiman-Nya, Tuhan menghendaki agar kita didamaikan kembali
dengan Diri-Nya dan dengan sesama. Semasa kita hidup di dunia, jika kita
sungguh mengasihi Tuhan, kita akan memeriksa batin kita, mengakui dosa-dosa
kita, menyatakan sesal atasnya, mengakukan dosa-dosa kita itu, dan menerima
absolusi atasnya dalam Sakramen Tobat. Kita melakukan penitensi dan
penyangkalan diri lainnya guna memulihkan luka akibat dosa. Dengan berbuat
demikian, kita akan terus-menerus mengatakan “ya” kepada Tuhan. Jiwa kita
bagaikan sebuah lensa - ketika kita berdosa, kita memburamkan lensa; lensa
menjadi kotor dan kita kehilangan fokus kepada Tuhan dalam hidup kita.
Melalui pengakuan dosa dan penitensi, Tuhan membersihkan “lensa” jiwa kita.
Ketika kita meninggal dunia, jika kita meninggalkan dunia ini dalam ikatan
kasih dengan Tuhan, meninggal dalam keadaan rahmat dan persahabatan
dengan-Nya, serta bebas dari dosa berat, kita akan memperoleh keselamatan
abadi dan menikmati kebahagiaan surgawi - kita akan melihat Tuhan dari muka
ke muka. Jika kita meninggal dunia dengan dosa ringan, atau tanpa melakukan
penitensi / silih yang cukup bagi dosa-dosa kita, Tuhan dalam kasih,
kerahiman, dan keadilan-Nya akan memurnikan jiwa, “membersihkan lensa”.
Setelah pemurnian, barulah jiwa akan dipersatukan dengan Tuhan di Surga dan
menikmati kebahagiaan surgawi.
Protestan mengalami kesulitan dengan doktrin Api Penyucian karena dua alasan
utama: Pertama, ketika Martin Luther menerjemahkan Kitab Suci ke dalam
bahasa Jerman pada tahun 1532, ia mengeluarkan tujuh Kitab dari Perjanjian
Lama, termasuk kedua Kitab Makabe, di mana setidak-tidaknya pemurnian jiwa
dinyatakan secara samar. Kedua, John Calvin mengajarkan bahwa kita telah
kehilangan kehendak bebas kita karena dosa asal dan bahwa Tuhan telah
menentukan sebelumnya apakah suatu jiwa akan diselamatkan atau dikutuk;
karena itu, jika kita tak dapat memilih untuk berbuat dosa dan jika nasib
abadi kita sudah ditentukan, siapakah yang membutuhkan Api Penyucian?
Singkatnya, para pemimpin Protestan menolak ajaran Gereja Kristen yang sudah
berabad-abad lamanya itu saat mereka menyangkal doktrin Api Penyucian.
Dalam “Crossing the Threshold of Hope” Paus Yohanes Paulus II menghubungkan
“api kasih” Allah yang bernyala-nyala yang disebut-sebut oleh
St.
Yohanes dari Salib dengan doktrin Api Penyucian: “Api kasih yang
bernyala-nyala” yang dibicarakan oleh St. Yohanes, terutama sekali merupakan
api yang memurnikan. Malam-malam gelap yang digambarkan oleh Doktor Gereja
yang mengagumkan ini berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri, serupa,
dalam arti tertentu, dengan api penyucian. Tuhan membuat manusia melewati
penyucian batin yang demikian dari hawa nafsu dan kodrat rohaninya guna
membawanya ke dalam persatuan dengan Diri-Nya Sendiri. Di sini, kita tidak
mendapati diri kita di hadapan suatu pengadilan belaka. Kita menghadirkan
diri di hadapan kuasa kasih itu sendiri. Dan yang terutama, kasihlah yang
menghakimi. Tuhan, yang adalah kasih, menghakimi lewat kasih. Kasihlah yang
menuntut pemurnian, sebelum manusia menjadi siap untuk bersatu dengan Tuhan
yang adalah panggilan dan kodratnya yang utama.”
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac
Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate
School in Alexandria.
Sumber : “Straight Answers: Does Purgatory Exist?” by Fr. William P.
Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic
Herald.
All rights reserved;
www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan
mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA:
www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”